Creatoku melakukan social experiment yang bertujuan menyelamatkan seseorang dari manusia iseng di Facebook. Social Experiment ini juga dalam rangka mengedukasi masyarakat agar lebih berhati-hati dalam bermedia sosial. Tulisan ini mendeskripsikan apa yang kami lakukan dan akan disajikan dalam beberapa bagian.…
Main Politik Kok Pakai Ustad
Apapun bisa menjadi terkenal atau dikenal dengan ‘alat’ modern yang bernama Media Sosial. Dulu untuk terkenal butuh perjuangan waktu dan biaya, sekarang buatlah sesuatu yang nyleneh atau tidak disukai orang banyak, bisa langsung terkenal. Dimungkinkan karena ada partisipasi masyarakat melalui media sosial.
From zero to hero. From nothing to be something. From local to be national even international.
Ustad Abdul Somad (UAS). Seorang penceramah agama yang fenomenal di negeri ini bahkan sampai negara tetangga. Konon jadwal ceramahnya sudah penuh sampai setahun yang akan datang. Artinya daftar antrian sungguh panjang, bahkan undangan presidenpun ‘diabaikan’ karena berbenturan dengan waktu yang sudah terjadwal.
Jujur saat pertama kali mendengarkan ceramah beliau yang di-share di Facebook, ada rasa takjub, penyampaiannya lugas jelas, to the point, plus referensi ayat atau dalil yang pas dan (ini poin pentingnya) dibawakan santai penuh humor. Sebuah perpaduan yang sangat pas. Karena faktor inilah ceramahnya disukai masyarakat, apalagi partisipasi mereka dalam menyebarkan di media sosial begitu tinggi. Muncul komunitas berupa fans page atau grup yang isinya menyajikan video ceramah juga informasi yang terkait. Popularitasnya meroket dan menjadi ‘”social media sweetheart”. Tetap dengan gaya khasnya, manajemen kewalahan mengatur jadwal ceramahnya yang begitu padat.
Entah ini hanya sebuah kebetulan atau sekedar prediksi, ketenaran UAS mulai dimanfaatkan oleh pihak yang mempunyai kepentingan tertentu. Kepentingan ini bukan murni agama tapi politik. Tanda-tanda itu sebenarnya mudah dikenali. Indikasinya bisa dilihat dengan jelas melalui pantauan media sosial, pihak mana yang secara masif menyebarkan video ceramahnya dan mereka berafiliasi ke kelompok mana.
Menyampaikan kebenaran, ajaran atau kajian agama suatu tindakan mulia dan dianjurkan karena merupakan salah satu metode dakwah, tapi saat sudah tercemari kepentingan tertentu (politik), maka saat itu juga kemurnian dakwah tercemari. Sikap politik itu hak setiap orang, tapi menyatakan sikap politik dengan bungkus agama, maka agama bisa jadi ‘buruk’ karena politik itu penuh dengan nafsu, kepentingan dan terkadang menggunakan berbagai cara untuk mencapainya.
Pengalaman berharga sudah bisa dilihat di ibu kota Jakarta saat Pilkada 2017. Bagaimana sentimen agama, sentimen suku, sentimen ras begitu mendominasi perhelatan itu. Ironisnya sentimen ini bisa membelah ibu kota menjadi dua kubu yang berseberangan dengan aneka argumen dan kepentingan masing-masing. Mereka mengklaim paling benar. Imbasnya bukan hanya di ibu kota Jakarta tapi secara nasional. Sungguh memprihatinkan.
Masyarakat Indonesia sedang bertumbuh menjadi masyarakat yang modern dengan aneka saluran yang bisa dinikmati secara bebas. Masyarakat Indonesia sedang gegar dengan teknologi yang terkadang melupakan jatidiri sebagai orang Indonesia. Tapi disatu sisi, masyarakat termakan propaganda kelompok dengan aneka alasan dan dalil yang secara masif bergerak ditengah masyarakat serta lambat laun mengubah masyarakat yang peduli dengan kemajemukan menjadi masyarakat yang sektarian, fanatik dan alergi dengan kemajemukan.
Dimana letak kesalahanannya?. Proses pendewasaan berpikir tidak tercontohkan oleh tokoh-tokoh publik, entah itu politisi, pemimpin, tokoh agama dan pihak-pihak mempunyai pengaruh terhadap berlangsungnya tatanan masyarakat. Mereka seharusnya menjadi teladan, menjadi patron agar masyarakat mau terus belajar bukan dimanfaatkan emosinya demi tujuan tertentu.
Banyak dari masyarakat yang dalam ritual agama kesehariannya biasa-biasa saja atau malah tidak melakukan tapi saat di ‘agama yang dianut’ dikritik, mereka paling depan sebagai ‘pembela’. Ironisnya terkadang menempatkan diri sebagai playing victim dari sebuah kebijakan atau sebuah tuduhan serta mereka dengan mudahnya mengeluarkan label ‘didholimi’, ;tidak pro (agama)’, ‘anti agama’, ‘penistaan’ dan banyak label-label lain.
Masih banyak yang beranggapan bahwa dalam memahami ajaran agama itu ‘cukup imani’ atau ‘ikuti aja’ tapi mereka menolak keras untuk berpikir lebih jauh atau mungkin mendiskusikan sehingga mendapatkan pemahaman lebih mendalam. Jika hal ini dilakukan maka label baru disematkan sebagai orang yang ‘liberal’.
Masyarakat yang kuper (kurang perhatian) atau baper (bawa perasaan) menjadi sasaran empuk para agen kepentingan agar masyarakat menjadi resah, emosian dan bila itu tercapai maka yang punya kepentingan akan bersorak-sorai dengan kemenangannya.
Setidaknya ada tiga lapis besar yang punyai kepentingan itu bermain. Lapis pertama adalah pemodal (hedge fund), ini adalah pihak yang paling berkepentingan terhadap suatu keadaan. Mereka pihak yang mempunyai sumber keuangan yang tidak terbatas. Mereka akan melakukan apa saja agar kepentingannya terlindungi dan aman. Terkadang mereka bermain di dua kaki, karena buat mereka tidak peduli ikut yang menang atau kalah, tapi tujuan tercapai. Pihak ini tidak pernah terekspos ke media, karena menggunakan proxy terpercaya.
Lapis kedua adalah politisi. Mereka ini punyai kepentingan pribadi, kelompoknya dan tentunya bagaimana agar mendapatkan tambahan uang selain penghasilan yang diterima. Mereka bermain atas nama kepentingan nasional, tapi mereka gigih memperjuangan pasal-pasal dalam peraturan yang sedang dibuat berdasarkan kesepakatan dengan pemodal. Dalam level ini rada sulit mengetahui apakah mereka itu melanggar hukum atau tidak. Karena mereka (semakin) pintar mencari celah. Jika ada yang tertangkap itu yang apes.
Lapis ketiga, ini lapis paling ujung karena bersentuhan langsung dengan masyarakat. Lapis ini yang paling berjasa jika ada sebuah kepentingan berhasil diperjuangkan karena mereka inilah yang tampil dipermukaan dan terlihat oleh masyarakat lain. Ormas-ormas berada dalam lapis ini. Mereka paling semangat melakukan protes, turun ke jalan dan terkadang melakukan tindakan anarkis. Mereka dikontrol oleh politisi-politisi secara tidak langsung. Masyarakat yang terlibat disini tidak tahu siapa dibalik agenda-agenda yang mereka lakukan. Mereka hanya diberikan arahan bahwa yang dilakukan adalah membela agama/tokoh/tujuan tertentu. Mereka yang paling potensial dibakar emosi, memainkan emosi mereka bisa mempercepat tujuan atau kepentingannya tercapai.
Hari ini melihat suatu gerakan atau tindakan murni sangat sulit, karena sudah tercemari oleh kepentingan-kepentingan kelompok tertentu.
Mungkin butuh suatu tindakan bijak untuk menyikapi informasi, ajakan, propaganda atau motivasi diri agar tidak terjebak dalam lingkaran kepentingan yang pada akhirnya saat kepentingan mereka tercapai kita dilupakan sedang mereka menikmati kepuasan batin dan juga materi.
Tapi, entahlah karena semua kembali ke kepasitas diri untuk menerima atau menyikapinya.
This Post Has 0 Comments