skip to Main Content

Kenapa Memilih Jadi Mahasiswa Goblok ?

Mahasiswa sering menjadi salah satu kekutan people power di ranah perpolitikan dunia. Tidak jarang sebuah pemerintahan runtuh karena gerakan people power yang ‘dimotori’ oleh mahasiswa. Kenapa kata dimotori aku kasih tanda petik, karena sebenarnya mahasiswa hanya pelaksana lapangan, yang terjadi adalah ada kekuatan lain yang mendorong mereka. Siapakah itu ?. Politisi dan invicible hand yang punya agenda terhadap kepentingan bisnis jika suatu perubahan bisa terjadi.

Tahun 1966, gerakan gerakan mahasiswa berhasil menumbangkan orde lama, demikian juga tahun 1998, mahasiswa berhasil menumbangkan keperkasaan orde baru dan bergantilah menjadi orde reformasi. Orde reformasi sekarang menghasilkan politisi yang menduduki posisi di parlemen atau pemerintahan. Apakah mahasiswa yang ikut gerakan itu menjadi politisi hebat  semua ?. Seribu banding satu. Yang berhasil tentunya karena bisa bergabung dengan partai politik yang ada. Ribuan lain, menyebar menjemput nasib dan peruntungannnya sendiri. Apa yang dibanggakan mereka yang tidak ‘berhasil’ menikmati kue politik?. Mungkin hanya kebanggaan karena pernah berperan serta dalam sebuah gerakan yang dicatat sejarah.

Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana mereka yang pernah memperjuangkan sebuah perubahan melihat kiprah mahasiswa dalam hal perpolitikan terutama yang dimilai di lingkungan kampus ?. Aku yakin mereka akan mempunyai komentar tersendiri.

Perpolitikan kampus dimulai dari mengkristalnya sebuah keinginan atau minat yang sama menjadi sebuah organisasi atau gerakan dengan berbagai macam label. Di tingkat jurusan, ada himpunan mahasiswa, tingkat fakultas pun ada wadah lebih besar, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM Fakultas) sampai BEM Universitas/Sekolah Tinggi/Akademi. Selain itu ada unit kegiatan kemahasiswaan (UKM) yang menjadi sarana sebagai mahasiswa untuk berkiprah sesuai passion masing-masing. Organisasi-organisasi tadi menjadi ladang bagi mahasiswa untuk berpolitik setidaknya tingkat kampus. Dinamikanya sangat bisa dirasakan, karena mereka beradu gagasan, keinginan dan agenda-agenda tertentu.

Dinamika organisasi kampus ini rupanya bisa dimanfaatkan oleh pihak yang mempunyai agenda besar dalam perpolitikan tingkat nasional bahkan internasional. Partai politik merupakan organisasi yang secara legalitas diakui oleh negara dan dapat digunakan untuk menjalankan agenda-agenda tertentu dan dapat mengubah serta mewarnai jalannya pemerintahan. Mereka mempunyai kekuasaan dan dapat menggunakannya untuk mencapai target tertentu.

Organisasi yang baik adalah yang sudah mempunyai sistem yang baik dan teruji serta didukung oleh anggota yang militan dan mau memperjuangkan agenda-agenda yang ada. Mereka tidak tergantung dari figur tapi mereka bergerak secara sistemik. Mereka sangat kuat karena pengkaderannya menggunakan metode doktrin dan jika digabungkan dengan agama maka menjadi sangat dahsyat efeknya. Agama merupakan elemen paling kuat untuk menggiring orang-orang agar ‘menyetujui’ apa yang dilakukan, karena agama kuat mengandung unsur benar dan salah. Surga dan neraka. Berbuat ‘baik’ hadiahnya surga. Berbuat ‘tidak baik’ hadiahnya neraka. Kenapa aku memberikan tanda petik untuk kata baik dan tidak baik. Karena dalam dunia politik maknanya sangat dinamis karena akan disesuaikan dengan kepentingan mereka. Anekdot bahwa politik tidak kawan dan lawan tapi politik itu adalah hanya mengenal kepentingan.

Pertanyaan yang sering aku terima dari teman-temanku. Kenapa mahasiswa itu mudah sekali digiring dan dijadikan alat oleh kepentingan partai politik?. Disini tidak semua mahasiswa ya, hanya sebagian saja. Pertanyaan lain, kenapa kampus-kampus besar yang umumnya negeri dan terkenal kok seperti menjadi ‘sarang’ pengkaderan favorit para partai politik atau organisasi tertentu yang berbau agama?. Kampus seperti ITB, IPB, UGM dan UI, menjadi lahan subur pengkaderan dan menghasilkan sosok militan.

Menurutku, mahasiswa adalah masa semua pemikiran dapat dinikmati bebas dan mahasiswa adalah dunia dewasa, dimana peran orang tua terhadap anak sudah tidak dominan. Mereka mencari hal-hal yang menurut mereka cocok dengan kondisi hati dan pemikiran sendiri. Mahasiswa ibarat Ronin, samurai tanpa tuan. Artinya mereka bisa ditarik oleh siapapun dan kapanpun dalam riuhnya politik. Lihatlah mereka, dengan cara sistemik mereka bisa bertransformasi menjadi sosok yang militan, gigih memperjuangkan kepentingan titipan partai politik atau organisasi. Walau jika dilihat dari kacamata normal, mereka sangat ekslusif dan cenderung anti sosial (walau tidak semuanya). Tapi kenapa justru di kampus besar eksistensi mereka begitu kuat, terutama kampus yang berafiliasi dengan agama tertentu ?. Menurutku, kampus umum tidak banyak mengajarkan tentang ilmu agama yang mendalam. Mata kuliah agama hanya sekedar memenuhi syarat mata kuliah wajib bagi mahasiswa. Berbeda dengan kampus yang berafiliasi dengan agama, mereka memberikan mata kuliah agama lebih banyak dan spesifik sehingga bisa membuka cara berpikir mahasiswa itu sendiri.

Kekosongan ini yang dimanfaatkan oleh para agen partai politik dan organisasi untuk menarik masuk kedalam agenda-agenda mereka . Karena secara sistemik juga, mereka sudah menempatkan agen-agen terbaiknya mulai dari pimpinan kampus sampai mahasiswa yang ‘sengaja’ dimasukkan dan sudah disiapkan sebelumya melalui pengkaderan mulai tingkat sekolah.

Jadi kalau melihat ada mahasiswa yang dengan lantang gagah berani beraksi di depan banyak orang dan di depan presiden dalam acara resmi kampus serta mengatasnamakan organisasi kampusnya, dengan membawa agenda politiknya, mungkin bisa menarik kebelakang, siapa sosok sang gagah berani ini. Apakah dia salah menyampaikan aspirasinya?. Menurutku tidak salah, mungkin kurang pas waktu saja. Tapi kalau memang disengaja agar bisa jadi viral, berarti mereka sedang membuka panggung terbuka untuk dapat atensi langsung dari presiden. Tapi apakah mahasiswa yang notabene ketua BEM kampus besar tidak belajar tentang etika ?. Mungkin pernah belajar dan tahu etika tapi kepekatan hati yang dipenuhi prasangka atau kebencian atau keperpihakan sehingga membutakan pikiran sehingga etika hanya sebuah cerita nina bobo. Sebegitukah kegoblokan mahasiswa (oknum) itu ?.

Setelah menjadi viral, netizen ramai-ramai menguliti siapa ketua BEM itu, dan kemudahan menelusuri informasi melalui internet terutama media sosial, berhasil ‘membuka’ latar belakang siapa sang ketua BEM itu. Entah benar atau tidak yang dibagikan netizen, aku percaya bahwa pasti ada udang dibalik batu. Dan memang begitu adanya.

Tahun 2018 merupakan tahun menjelang tahun politik 2019 dimana pemilihan anggota legistalitif sekaligus pemilihan presiden dilakukan bersamaan. Momen dimana perubahan secara politik bisa dilakukan dilingkup kekuasaaan eksekutif maupun legislatif. Ajang pertarungan kepentingan yang sering menggunakan jargon-jargon untuk menarik pemilih agar kepentingan mereka bisa tersalurkan.

Sebagai mahasiswa, terutama di era keterbukaan informasi dan cara berpikir, harus cerdas menyikapinya. Pintar saja tidak cukup. Kecerdasan bisa membaca situasi secara jernih harus dikedepankan agar tidak menjadi mahasiswa berlabel goblok. Memang menjadi goblok itu lebih baik karena punya kesempatan untuk belajar lagi. Menjadi goblok karena tidak mau belajar dan lebih mengedepan emosi kepentingan pihak lain yang belum tentu mewakili batin terdalam itu sendiri. Banyak yang merasa ‘ditinggalkan’ setelah digunakan untuk kendaraan menggapai kepentingan partai politik atau organisasi tertentu dan akhirnya hanya bisa nyengir tanpa bisa punya kekuatan untuk menuntut ‘haknya’.

Menjadi goblok itu pilihan. Goblok struktural-lah yang harus dihindari.

This Post Has 0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top