Hidup bagi saya tak pernah mudah, pun begitu sudah sejak lama sekali saya berhenti bertanya KENAPA pada Tuhan, sebab Tuhan gak butuh alasan untuk memberi kita rasa sedih juga sakit, seperti halnya kita pun gak pernah mempertanyakan KENAPA pada Tuhan…
Cosplay Ekspresi dan Konsep Diri
Jujur aku menulis ini berbekal materi yang pas-pasan dan aku buta sama sekali cosplay atau mungkin secara luasnya bisa menggunakan istilah Jejepangan. Jejepangan ini mempunyai makna hal-hal yang berbau Jepang atau tepatnya budaya Jepang.
Kenapa aku tertarik menulis tentang Cosplay?. Karena bagiku ini sesuatu yang unik, dan eksistensi komunitas ini tumbuh subur khususnya di era milenial ini.
Kira-kira mulai dari mana ya?. Mungkin dari yang paling dasar dulu. Apa itu cosplay?. Cosplay dari kata ‘costum’ dan ‘play’. Singkatnya sebuah kostum/wardrobe/pakaian/baju dari sebuah permainan bisa dari karakter sebuah game, komik/manga, film, tokoh mitologi dan lain-lain. Pertanyaan menggelitik apakah cosplay itu harus identik dengan Jepang ?. Menurutku tidak sama sekali.
Kalau melihat anak kecil dibelikan sebuah kostum Superman oleh orang tuanya kemudian memakainya dan beraksi seperti Superman, maka anak itu juga sedang ber-cosplay dan menjadi cosplayer. Jadi, karakter pakaianpun tidak harus identik dengan suatu budaya tertentu.
Sebagai orang awam, aku sempat terkaget plus tercengang saat melihat timelines Facebook teman yang memang cosplayer, serasa masuk dunia baru karena salah satu kelebihan media sosial itu bisa menciptakan sebuah komunitas sesuai passion/minat masing-masing. Karena kecenderungan manusia akan lebih mudah bersosialisasi dengan orang berminat sama. Ajaib sekali.
Mengapa tertarik dan menjadi seorang cosplayer?. Menurutku, sangat wajar sekali, seperti orang tertarik terhadap hal lain. Hanya memilih menjadi seorang cosplayer pasti beralasan. Menjadi cosplayer berarti menjadi diluar diri dan masuk dalam dunia fiktif yang tergambar seperti tokoh yang ada di game, komik, film, mitologi lengkap dengan detail kostum dan ‘berakting’ layaknya tokoh yang dimainan.
Dikutip dari jurnal yang berjudul Filipino Cosplayers: Exploring the Personality Traits linked with Fantasy Proneness and Dissociative Experiences oleh Marc Eric S. Reyes (University of Santo Tomas) dan Roger D. Davis (Institute for the Study of Personality) yang diterbitkan dalam Nort American Journal of Psichology, mengatakan bahwa dalam cosplay, penggemar memakai kostum untuk memerankan karakter fiksi dari beragam genre budaya pop, termasuk fiksi ilmiah, sejarah, horor, dan anime (Winge, 2006). Menurut Lamerichs (2011) dan Winge (2006), cosplay melibatkan empat elemen utama: Pertama, cosplayer adalah orang berpakaian seperti karakter fiksi. Kedua, cosplayer berkumpul di beberapa setting sosial, biasanya konvensi, tapi juga kompetisi, sesi fotografi, pesta bertema, klub, dan kelompok online. Ketiga, Performa karakter melibatkan anggapan peran fiktif karakter, yang diundangkan secara “realistis” mungkin. Dan terakhir, Pakaian tidak hanya mencakup pakaian cosplayer, tapi juga ada bahan pelengkap dan alat peraga yang digunakan. Partisipasi juga bisa berlanjut pembuatan kostum dan memasukkan nilai sentimentalnya.
Kenapa individu melibatkan dalam Cosplay?. Menurut Rosenberg dan Letamendi (2013) menemukan bahwa alasan utamanya hanyalah sebuah kenikmatan. Alasan kedua adalah bahwa cosplayer telah menjadi penggemar berat karakter yang digambarkan. Penelitian lain difokuskan pada hubungan cosplay untuk mengatasi, melamun, dan ekspresi identitas (Despuez, 2008).
Di Jepang, istilah otaku mengacu pada seseorang yang sangat terobsesi dengan anime. Di sini, cosplay bukan sekadar tindakan menirukan dan kembali memberlakukan materi fiksi untuk bersenang-senang. Sebaliknya, itu menjadi bentuk ekspresi diri yang digunakan untuk menciptakan dan masuk menjadi identitas yang berbeda, sarana untuk melepaskan diri dari realitas dunia maya masuk kedalam dunia pribadi dari karakter yang ada (Bruno, 2002; Lamerichs, 2011; Winge, 2006).
Semakin menarik ini. Jadi cosplay merupakan bentuk ekspresi dan membangun konsep diri yang biasanya muncul saat orang tumbuh remaja, di masa butuh sosok yang menjadi patron atau panutan dan haus dengan ketertarikan terhadap hal baru. Cosplay tumbuh subur di masa itu. Bertemunya dengan invididu-individu yang ber-passion sama menumbuhkan komunitas-komunitas dan terjadi interaksi sehingga saling menguatkan eksistensi mereka.
Memilih karakter tertentu untuk menjadi alter ego tentunya tidak asal, pasti mempertimbangkan beberapa aspek. Menurutku, individu memilih berbeda dan tentu menyesuaikan kondisi diri sehingga tidak terkesan memaksakan karena malah merusak karakter tokoh pilihannya.
Setidaknya aku pernah melihat langsung bagaimana antusiasme komunitas/individu terhadap Jejepangan dalam sebuah event di Jakarta Barat belum lama ini. Suka sekali melihat bagaimana mereka mengekspresikan diri dan bertemu dengan individu yang ber-passion sama. Ternyata mereka sangat beragam latar belakangnya, tapi sebagian besar mereka remaja dan tidak jarang yang sudah berkeluarga.
Menarik lagi jika menilik ke individunya sendiri. Mereka ibarat Clark Kent dan Superman. Clark Kent sosok sipil yang mempunyai kehidupan sosial sendiri layaknya orang pada umumnya tapi saat menjadi Superman semua berubah dan pribadi Clark Kent tidak terlihat sama sekali. Clark Kent adalah alter ego dari Superman di dunia nyata. Cicih adalah alter ego dari Medusa. Paijo adalah alter ego dari Conan.
Dikutip dari jurnal yang sama bahwa meskipun cosplayer tidak mengalami khayalan menjadi karakter fantasinya, mereka mengundurkan diri setiap hari
untuk mengasumsikan karakter dan norma perilaku fantasi karakter. Transformasi yang dihasilkan tidak terbatas pada penampilan luar (yaitu kostum), tetapi juga mencakup asumsi pengalaman subyektif dibayangkan pantas atau tipikal karakter fantasi. Sikap, perilaku, dan sifat kepribadian semuanya dapat berubah menjadi perasaan fantasi alter ego. Yang paling ekstrem, transformasi mungkin mendalam dan mendekati intensitas halusinasi (Sanchez-Bernardos & Avia, 2004).
Konsep diri menjadi salah satu kunci individu menjadi seorang cosplay atau bahkan non cosplay. Konsep diri itu ada di tiap individu dan ini berkaitan dengan bagaimana individu itu mengeksplorasikan terhadap apapun yang diterima dalam kehidupan sosial sehari-hari. Menjadi apa itu sebuah pilihan. Konsep diri berkaitan dengan pembentukan karakter yang dimulai dalam lingkungan terkecil dan private yaitu keluarga. Memilih menjadi cosplayer, bisa bermula dari ‘larinya’ dari sebuah keadaan dan menjadi lebih ‘nyaman’ saat diri menjadi sosok lain. Menjadi sosok lain, memungkinkan bisa melakukan atau bersikap tidak seperti biasanya. Ada rasa kebanggaan, ada rasa puas, ada rasa yang tidak tersalurkan saat menjadi sosok biasa. Di balik hingar bingar kostum ada sosok manis, imut, sholeh/sholehah, anak mama, anak cerdas, anak biasa-biasa saja, dan orang lain tidak tahu kecuali saat sosok itu bertemu dengan temannya yang ber-passion sama dan mendengarkan mereka berinteraksi. Buatku cukup membuat garuk-garuk kepala saat melihat mereka berinteraksi, bahasa dan terminologi yang digunakan sungguh asing, ini yang aku rasakan. Tapi tetap menarik.
Data dari Studi Fenomenologi Pelaku Cosplay di Komunitas Visual Shock Community (VOC) Surakarta menyatakan konsep diri cosplayer terbentuk sejak mereka kecil, tepatnya sejak mereka terinspirasi karakter tokoh-tokoh anime yang mereka simak. Dari situ, mereka berambisi menjadi tokoh idola mereka yang berlanjut terus hingga mereka kemudian menemukan komunitas cosplay. Komunitas cosplay inilah yang memberi ruang bagi seseorang dalam mengekspresikan diri. Melalui komunitas dan agenda-agenda cosplay, mereka mulai benar-benar serius menekuni karakter pilihan mereka.
Robin S. Rosenberg dalam The Journal of Cult Media mencatat alasan-alasan kenapa seseorang mengikuti cosplay. Alasan terbanyak yang mereka pilih adalah sebagai hiburan. Dari total 197 koresponden, 73 orang menyatakan bahwa cosplay adalah bentuk ekspresi kreatif dan artistik mereka. Sebanyak 44 menyatakan cosplay adalah kesempatan untuk menunjukkan karya atas sesuatu yang mereka gemari (kostum, makeup, gagasan).
Selanjutnya, ada 41 orang yang menganggap cosplay sebagai cara mengidentifikasikan diri atas karakter yang mereka pilih. Sebanyak 28 orang menganggap cosplay sebagai pelarian, dan 26 orang menganggapnya sebagai kesempatan untuk menjadi pesohor dalam waktu singkat. Survei 197 koresponden ini memungkinkan satu orang memilih lebih dari satu alasan.
Dari data yang sama, 53 dari total 197 koresponden menyatakan keputusan memilih kostum didorong oleh karakter psikologis tokoh pilihan dan 13 di antaranya mempertimbangkan biaya yang harus mereka alokasikan untuk menyiapkan kostum.
Aku pernah berbincang dengan temanku yang cukup senior (aku gak tahu ukuran junior/senior) dalam dunia cosplay. Aku tanya, apa hal positif yang dari seorang cosplayer?. Bisa nambah teman, punya banyak kenalan, tambah pengalaman, menambah kepedean, tambah pemasukan/bisnis (korelasinya jika masuk ke bisnis kostum, alat, asesoris, dll) dan nambah ilmu pengetahuan. Bahkan jika diseriuskan, dengan memilih karakter yang tepat, kostum tepat, asesoris pas dan konsep yang lengkap plus sering mengikuti ajang kompetisi cosplay seperti CLASH, jika berprestasi bisa menjadi ikut ajang kompetisi di level regional bahkan internasional. Terkenal dan berhadiah. Enak dan nikmat jika sebuah hobby menjadi sumber ekonomi (penghasilan).
Selain sisi positif, negatifnya pasti ada. Menurut temanku, saat seorang cosplay tidak mirip, bisa jadi bahan rundungan (bully) orang-orang lain terutama dari mereka yang sama-sama ber-passion sama. Ada juga yang bersikap mengarah ke pelecehan terhadap cosplayer lain, dengan memberikan label-label tertentu yang merendahkan. Di ranah bisnis kostum dan asesoris, menjual kostum dengan harga murah untuk menjaring pembeli dan setelah terjadi transaksi barang tidak terima plus kontak terputus. Ada satu fenomena kalau mau cepat terkenal, cosplay saja, semakin keliatan belahan, semakin cepat terkenal. Saat ada ajang lomba atau kompetisi, cosplay tidak usah terlalu bagus, asal berteman dengan juri dan komisi berbagi dua, bisa menang.
Menurutku, hal negatif tersebut ada karena ada yang bisa melihat peluang dan kurangnya aware terhadap hal yang diinginkan. Saat orang dikuasai oleh sebuah perasaan/emosi terhadap suatu hal, saat itu terkadang tidak bisa berpikir jernih sehingga dimanfaatkan oleh orang lain.
Menjadi apapun, termasuk cosplayer, harus mempunyai bekal yang cukup terutama mental diri, karakter diri dan juga pasti biaya. Hobby itu mahal. Menjadi bagus dan terkenal juga mahal. Mental diperlukan saat menghadapi persaingan, karena banyak orang ingin seperti yang kita lakukan, tapi terkadang mereka tidak siap bersaing. Karakter diri penting untuk membentengi diri dari hal yang merugikan sendiri khususnya dalam mengambil sikap yang tepat jika menghadapi situasi yang rumit. Kostum dan asesoris lengkap itu mahal, mahal karena tidak semua orang bisa membuat kostum. Karena mereka tidak membuat dalam skala industri tapi lebih skala tailor made (pesanan). Investasi kostum itu perlu jika ingin menjadi cosplayer pro, kalau tidak mau dilabeli cosplay karbitan atau apalah.
Konsep diri ini tidak statis tapi dinamis, karena seorang cosplayer bisa saja mempunyai kostum lebih dari satu artinya lebih dari satu karakter. Pemilihannya lebih kepada ketertarikan terhadap artistik, kecocokan fisik dan juga mungkin faktor psikologis karakter yang diperankan. Cosplay juga tidak mempunyai agenda yang jelas, mereka sangat dinamis dan tidak selalu berusaha menduplikasi karakter secara utuh tapi lebih menyesuaikan diri sendiri.
Sumber :
1. https://tirto.id/membangun-konsep-diri-dengan-cosplay-cnZn
2. Filipino Cosplayers: Exploring the Personality Traits linked with Fantasy Proneness and Dissociative Experiences by Marc Eric S. Reyes (University of Santo Tomas) and Roger D. Davis (Institute for the Study of Personality). Published North American Journal of Psichology
3. Winge, T. (2006). Costuming the imagination: Origins of anime, manga, and cosplay. Mechademia, 1, 65-76.
4. Lamerichs, N. (2011). Stranger than fiction: Fan identity in cosplay. Transformative Works and Cultures, 7. doi: 10.3983/twc.2011.0246.
5. Rosenberg, R. S. & Letamendi, A. M. (2013). Expressions of fandom: Findings from a psychological survey of cosplay and costume wear. Intensities: The Journal of Cult Media, 5, 9-19
6. Despuez, N. (2008). Cosplay: an escape from reality. Manila: The Manila Times.
7. Sanchez-Bernardos, M.L., Hernandez Lloreda, M. J., Avia, M.D., & BragadoAlvarez (2015). Fantasy proneness and personality profiles. Imagination,
Cognition and Personality: Consciousness in Theory, Research, and Clinical Practice, 34(4), 327-339.
8. http://eprints.ums.ac.id/22086/16/NASKAH_PUBLIKASI.pdf
9. TKKM
10. http://orig14.deviantart.net/fada/f/2010/242/4/e/double_trouble_by_malro_doll-d2xn23x.jpg
This Post Has 0 Comments