skip to Main Content

Antara LGBT, Bhinneka Tunggal Ika dan Legalisasi Free Sex (2/2)

Bagian kedua atau terakhir. Tulisan ini harus dibaca dengan pikiran terbuka. (Redaksi).

Sore itu hujan turun begitu derasnya di sekitaran Cilandak Town Square, tempat dimana saya dan teman lama saya berniat reuni kecil-kecilan. Tapi meskipun dilanda hujan, Alhamdulillah niat kami reunian tak jadi terhalang. Meskipun memang dari 10 orang yang menyatakan siap datang, hanya separuhnya saja yang akhirnya benar benar join bersama kami di event reuni kecil kecilan nan serba dadakan yang gagasan ketemuannya baru tercetus 3 jam sebelum kami benar benar duduk satu meja, sore itu.

Bagian Pertama : Antara LGBT, Bhinneka Tunggal Ika dan Legalisasi Free Sex

Dan seperti sudah saya duga sebelumnya, obrolan sore itu pun mengalir lancar dengan aneka topik bahasan beragam dari masalah pekerjaan, kehidupan dan rutinitas kesehariannya yang bagi kami sudah mulai membosankan, hingga gosip teraktual yang kami akui kerapkali memang menjadi sumber inspirasi kami dalam menemukan bahan celaan yang mengakrabkan.

Kemudian kalau bicara gossip, jangan dikira gosip ini cuma jadi skill spesial wanita saja dalam pengolahannya. Tapi justru kalo boleh dibandingkan. Skill kami dalam bergosip ria pun tak kalah dengan anda, para wanita. Cuma memang, kalau ditanya soal apa dan gimana perbedaan gossip ala pria dan wanita, maka jawabannya jelas. Bahwa beda gossip yang digelontorkan oleh kaum pria dan wanita sesungguhnya ada pada TUJUAN AKHIRNYA.

Kalau wanita bergosip lantaran ingin mengurangi beban pikiran (stress) serta demi mendapatkan pertemanan (pengakuan), maka kaum pria seperti kami ini melakukan aktivitas bergosip ria semata karena kami ingin mendapat bahan roastingan (bahan celaan) yang memungkinkan topik tersebut untuk mampu menjaga obrolan kami-kami para kaum pria ini berlangsung lama dan berkelanjutan.

Nah tibalah kami kemudian pada moment dimana setiap orang bertanya tentang kabar terkini teman seangkatan. Karena yang datang kebetulan pria semua, maka niat nanya kabar tersebut pun tadinya akan saya jadikan juga bahan roastingan juga. Namun obrolan pun mendadak berubah serius ketika salah satu diantara kami menyebut kabar seseorang yang sangat kami kenal karena kegarangan sikapnya pas masih sekolah dulu.

Curiga gue, dia jadi ada kecenderungan jadi GAY deh. Abis masa iya didepan umum gandengan sama cowok, remas remasan tangan, trus pas pamitan? Sikapnya jadi manja manja ga jelas gitu sama temen cowoknya. Kan gue curiga.” kata Wiro (bukan nama sebenarnya) ke kita-kita.

Gue sih ga curiga sih. Gue nuduuuh..!!” kata Wiro. Kami semua yang disana seketika bergidik. Ngeri. Ko bisa ya?

Singkatnya, setelah pertemuan itu, dalam perjalanan menuju ke rumah saya pun searching penyebab kenapa seseorang bisa jadi Homoseksual? Bisa jadi Lesbian, Gay, Biseksual or Transgender (LGBT)?

Jika mengutip apa yang dijelaskan dalam berbagai artikel dan sumber yang membahas khusus soal LGBT ini, setidaknya ada lima faktor yang bisa dianggap sebagai penyebab makin maraknya budaya seksual bertajuk LGBT Syndrome (Sindrom Lesbian, Gay, Biseksual, and Transgender) :

Menurut informasi yang saya ambil dari beberapa sumber yang membahas soal LGBT, setidaknya ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya disorientasi seksual tersebut, diantaranya :

1. Karena Faktor keluarga

Ketika seorang anak mendapatkan perlakuan yang kasar atau perlakuan yang tidak baik lainnya, maka pada akhirnya kondisi itu bisa menimbulkan kerenggangan hubungan keluarga serta timbulnya rasa benci si anak pada orang tuanya. Sebagai contoh adalah ketika seorang anak perempuan mendapatkan perlakuan yang kasar atau tindak kekerasan lainnya dari ayah atau saudara laki-lakinya yang lain, maka akibat dari trauma tersebut nantinya anak perempuan tersebut bisa saja memiliki sifat atau sikap benci terhadap semua laki-laki. Dan kondisi inilah yang jika tidak disadari betul akan menjadikan dorongan menyukai sesama jenis dan trauma kepada lawan jenis menjadi semakin besar.

2. Faktor Lingkungan dan pergaulan

Lingkungan serta kebiasaan seseorang dalam bergaul disinyalir telah menjadi faktor penyebab yang paling dominan terhadap keputusan seseorang untuk menjadi bagian dari komunitas LGBT.

Ketika seorang anak yang dalam lingkungan keluarganya kurang mendapatkan kasih sayang, perhatian, serta pendidikan. Di saat anak tersebut mulai asik dalam pergaulannya, maka ia akan beranggapan bahwa teman yang berada di dekatnya bisa lebih mengerti, menyayangi, serta memberikan perhatian yang lebih padanya. Dan tanpa ia sadari, teman tersebut justru membawanya ke dalam kehidupan yang tidak benar, seperti narkoba, miras, perilaku seks bebas, serta perilaku seks yang menyimpang (LGBT).

3. Faktor Genetik

Dari beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa salah satu faktor pendorong terjadinya homoseksual, lesbian, atau perilaku seks yang menyimpang lainnya bisa berasal dari dalam tubuh si pelaku yang sifatnya bisa menurun dari anggota keluarga terdahulu. ada beberapa hal yang perlu Anda ketahui terkait masalah ini, seperti :

Dalam dunia kesehatan, pada umumnya seorang laki-laki normal memiliki kromosom XY dalam tubuhnya, sedangkan wanita yang normal kromosomnya adalah XX. Akan tetapi dalam beberapa kasus ditemukan bahwa seorang pria bisa saja memiliki jenis kromosom XXY, ini artinya bahwa laki-laki tersebut memiliki kelebihan satu kromosom. Akibatnya, lelaki tersebut bisa memiliki berperilaku yang agak mirip dengan perilaku perempuan.

Keberadaan hormon testosteron dalam tubuh manusia memiliki andil yang besar terhadap perilaku LGBT. Seseorang yang memiliki kadar hormon testosteron yang rendah dalam tubuhnya, maka bisa mengakibatkan antara lain berpengaruh terhadap perubahan perilakunya, seperti perilaku laki-laki menjadi mirip dengan perilaku perempuan.

4. Faktor Akhlak dan Moral

Faktor moral dan akhlak yang dimiliki seseorang juga memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku LGBT yang dianggap menyimpang. Ada beberapa hal yang dapat berpengaruh pada perubahan akhlak dan moral yang dimiliki manusia yang pada akhirnya akan menjerumuskan manusia tersebut kepada perilaku yang menyimpang seperti LGBT.

5. Faktor Pendidikan dan Pengetahuan Tentang Agama

Faktor internal lainnya yang menjadi penyebab kemunculan perilaku seks menyimpang seperti kemunculan LGBT adalah pengetahuan serta pemahaman seseorang tentang agama yang masih sangat minim. Karena pemahaman agama yang minim inilah kemudian banyak diantara masyarakat kita menjadi tidak memiliki panduan moral yang karenanya membuat dia dan orientasi kehidupannya (termasuk orientasi seksualnya) pun menjadi tidak jelas. Abu abu. Rancu.

Oleh karenanya ketika kelima faktor diatas lantas luput dari perhatian kita semua, maka kemungkinan makin mewabahnya gejala disorientasi seksual seperti LGBT ini pun akan semakin besar.

TAWARAN SOLUSINYA (Solusi Aman Vs Solusi Nakal)

Penguatan pondasi keluarga, lingkungan, moral, dan agama bagi para pelaku LGBT (Lesbian Gay Biseksual dan Transgender) tentu menjadi suatu hal paling penting yang bisa dilakukan siapapun untuk mencegah mewabahnya gejala “ajaib” ini. Namun, karena semakin majunya zaman dan semakin antipatinya masyarakat kita (terutama masyarakat kota besar) akan segala norma dan tata aturan yang memberi mereka begitu banyak batasan?

Maka keberadaan solusi “nakal” pun rasanya bisa menjadi satu alternatif jalan yang bisa dilakukan agar bangsa ini ‘terbebas’ dari jeratan LGBT. Terlebih dinegara ini sendiri belum memiliki tata aturan yang jelas mengatur tentang keberlangsungan “kaum ajaib” yang tak bisa dipungkiri jumlahnya semakin tahun semakin bejibun.

Data terakhir menyebutkan bahwa perjumlah LGBT versi Jawa Pos tahun 2016 adalah sekitar 3% dari total 250 juta penduduk Indonesia. Itu artinya? 7,5 juta penduduk Indonesia diduga adalah penganut LGBT. Dan artinya lagi? Diantara 34 penduduk Indonesia? 1 diantaranya adalah partisan LGBT. Apapun perannya. “Beuh. Ngeri ya?”

Makanya banyak solusi yang akhirnya terus dicari oleh mereka yang antipati terhadap LGBT ini. Mulai dari pendekatan yang banyak menekankan pada pendekatan persuasi via diskusi, lalu ada juga yang melalui aneka teknik terapi dari multi disiplin ilmu terapeutik yang konon memiliki efek yang “sakti”. Sampai kepada pendekatan agama yang missinya adalah mengembalikan tiap diri kepada fitrah mereka selaku ciptaan Ilahi.

Berhasilkah?
Bisa dibilang ya. Tapi juga dibilang tidak terlalu keliatan efek hasil keseluruhannya. Terbukti praktek-praktek pergaulan ala kaum LGBT pun masih marak disana sini.

Butuh Solusi “Nakal”

Untuk mengatasi permasalahan LGBT ini, ketika solusi biasa tak bisa mengatasi problematika dan hambatan untuk meminimalisir terjadinya praktek LGBT ini, maka rasanya memang kita perlu sedikit atau bahkan agak dan sangat “nakal” juga agar dampak “nakal” dari problematika LGBT yang sudah dianggap sesuatu yang “nakal” ini bisa diredam bahkan diatasi.

Dan bicara soal solusi “nakal” itu sendiri untuk mengatasi produk LGBT ini tak lain adalah dengan mewacanakan “Gerakan Legalisasi Free Sex“.

Lho? Kok Free Sex?

Kalo kemudian ada yang tanya : kenapa harus free sex? Maka tinggal dijawab saja : “Kenapa enggak?”

Meskipun sama sama merupakan hal yang tabu bagi siapapun yang tinggal di negerinya Pasha Ungu itu?

Tapi rasanya free sex yang melibatkan dua orang berbeda jenis (kelamin) adalah solusi yang lebih make sense untuk mengatasi fenomena LGBT yang memang orientasi sex-nya melibatkan dua sosok sesama jenis (kelamin). Namun begitu, free sex disini haruslah ditekankan kepada praktek bercinta atau Making Love (ML) yang menjunjung tinggi nilai-nilai komitmen. Bukan sekedar hubungan singkat yang orientasinya hanya pemuasan syahwat saja.

Jadi tetap ada tata aturan yang memang harus diberlakukan agar praktek free sex yang akhirnya berubah jadi commitment sex yang melibatkan dua orang (seorang pemuda dan seorang pemudi) yang sedang jatuh cinta dan memutuskan hidup bersama dan berbagi apa saja (meski dengan atau tanpa menikah dulu sebelumnya).

Betewe, kok bisa si kepikiran solusi gila kayak gini?

Mungkin ada diantara Anda para pembaca yang akhirnya ngebatin pertanyaan seperti tadi. Wajar saja sih, kalo menurut saya kenapa gagasan ini ditentang ya semata karena kita ga siap saja dengan segala sesuatu yang “berbeda”.

Akan tetapi maksud saya kenapa gagasan free sex yang mengarah kepada commitment sex merupakan solusi tepat atasi LGBT karena saya melihat ada 3 hal unik dalam praktek “commitment sex” yang bisa menjadikannya solusi ‘nakal namun jitu’ mengatasi bayang-bayang budaya LGBT yang kembali merongrong bangsa ini :

1. Bahwa commitment sex (via Making Love – ML Activity) merupakan cara kekinian yang kerap ditempuh remaja zaman sekarang untuk menunjukkan bahwa mereka sangat serius menjalani hubungan dengan pasangan mereka.

2. Meskipun aktivitas LGBT dan Free Sex Berkomitmen atau selanjutnya saya sebut Commitment sex merupakan dua hal yang sama sama tabu, namun nyatanya praktek ‘sex berkomitmen’ (commitment sex) semakin lama semakin banyak dilakukan oleh banyak pasangan muda mudi negeri ini. Alasannya?

Selain karena proses menuju pernikahan yang relatif sangat ribet dimata remaja zaman sekarang (teens zaman now), banyaknya praktek sex berkomitmen yang dianut pemuda pemudi bangsa ini banyak dipengaruhi oleh adanya anggapan bahwa sex berkomitmen jauh lebih bebas dan santai menjalaninya ketimbang sebuah pernikahan yang belum tentu langgeng tapi sudah mensyaratkan banyak hal ribet pada mereka.

3. Banyak juga sosok pemuda pemudi negeri ini yang kemudian memilih “Commitment Sex” lantaran mereka merasa bahwa dengan commitment sex ini kadar cinta yang mereka rasakan jauh lebih murni bahkan jika dibandingkan dengan pernikahan yang semua aktivitas didalamnya tercipta dan terjadi akibat adanya hak dan kewajiban.

Dan salah satu bentuk yang lazim dipakai untuk menggambarkan bagaimana bentuk commitment sex ini adalah berupa Making Love (ML) Activity yang di Indonesia pun sudah banyak dianut oleh pasangan muda mudi. Meski memang disisi lain tetap juga masih banyak terjadi kesalahpahaman tentang bagaimana memaknai hubungan seks berkomitmen selayaknya ML alias Making Love ini.

Tapi disisi lain (atau setidaknya..dari sisi saya, hehehe), solusi “nakal” dalam bentuk mengekspresikan cinta via ML atau MAKING LOVE punya makna yang sangat dalam. Making artinya membuat, Love artinya Cinta.

Making Love itu sendiri meski bebas (dengan atau tanpa keterikatan resmi yang disaksikan oleh negara selayaknya pernikahan) merupakan sebentuk pengekspresian cinta yang mengikat batin pelakunya melalui sebentuk berhubungan seks yang dengannya bisa menumbuhkan cinta. Jadi hubungan seks dalam kata Making Love itu sangat bermakna sekali. Dan dilakukan oleh mereka yang benar benar saling mencintai. Dan bagi saya, praktek inilah yang bisa jadi alternatif solusi tentang bagaimana meredam wabah LGBT yang diam diam masih mengintai generasi anak negeri. “Daripada situ hubungan sex sama jenis sendiri? Kan ngeri..!!”

Lagipula Making Love ini sendiri kan jelas berbeda dengan “Get Fuck Activity” yang memang dari artinya saja jelas bahwa orientasi hubungan jenis ini ya..just for fun atau hubungan seks sekedar melepas semua gairah yang sudah ada untuk disalurkan saja seperti yang biasanya dilakukan dengan penjaja tubuh, atau cinta satu malam.

Sekali lagi ini hanya sebentuk solusi. Nakal? “Pasti..!! Kan makanya dari awal sudah diwanti-wanti.”

Perkara mau diikuti atau dimaki?. Namanya juga solusi “nakal” yang timbulnya juga ujug-ujug saat ada pemikiran “nakal” itu terjadi. Ya itu mah kembali pada diri Anda pribadi sih sebagai orang yang menjalani kehidupan Anda sendiri lengkap dengan aneka konsekuensi yang menyertai. “Lha kalo anda kemudian tersugesti sama tulisan ini?”

Ya itu bukan salah sini. Situ aja yang rasa manut bin nurutnya kelewat tinggi. Ya gak si?

This Post Has 0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top