Creatoku melakukan social experiment yang bertujuan menyelamatkan seseorang dari manusia iseng di Facebook. Social Experiment ini juga dalam rangka mengedukasi masyarakat agar lebih berhati-hati dalam bermedia sosial. Tulisan ini mendeskripsikan apa yang kami lakukan dan akan disajikan dalam beberapa bagian.…
Antara LGBT, Bhinneka Tunggal Ika dan Legalisasi Free Sex (1/2)
Tulisan ini terbagi menjadi 2 bagian dan ini adalah bagian pertama. Tulisan ini harus dibaca dengan pikiran terbuka. (Redaksi).
Legalisasi Free Sex?
Entahlah. Pikiran ini entah kenapa bisa langsung ter-HACK ide nakal tentang cara mengatasi problematika LGBT di Indonesia. Ide tentang legalisasi free sex ini buat saya cukup “nakal” tapi rasional. Kenapa?
Karena sebagai bangsa yang tidak mengakui betul-betul keberadaan kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), orang Indonesia seringkali merasa risih ketika ada satu orang teman diantara mereka lantas mengakui bahwa ia adalah sosok transgender. Hal yang sama pun terjadi pada kaum lesbian dan gay yang dinegeri ini keberadaan mereka masih sulit untuk diakui bahkan cenderung ditolak habis habisan. Setiap kali mereka (kaum gay, lesbian dan biseksual) ada diantara kita -orang Indonesia- maka penolakan lah yang cenderung jadi reaksi awal atas keberadaan mereka. Bukan penolakan biasa saja, tapi bahkan penolakan atas keberadaan mereka itu relatif cenderung keras. Bahkan kasar.
Mungkin kalau saya ditanya : “Kira-kira kenapa ya masyarakat Indonesia sedemikan keras menolak keberadaan kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) yang pada kenyataannya, keberadaan mereka di Indonesia pun memang benar benar ada?”
Eh, tapi kenapa ya meski kaum seperti mereka ini ADA di negeri ini, kenapa penolakan atas kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) kok ya keras luarbiasa?. Bukannya negara kita negara yang ber-Bhinneka Tunggal Ika?. Yang berbeda beda tapi tetap satu jua?. Yang berarti bahwa negara ini melalui semboyan Bhineka Tunggal Ika – nya (seharusnya) mengakui keberbedaan diantara anak bangsanya?. Bukan semata soal suku, bangsa dan agama serta soal pilihan saja. Tapi bukankah ini juga meliputi keseluruhan aspek kehidupan anak bangsanya juga? Soal orientasi seksualnya, misalnya?
Tidakkah ke-Bhineka Tunggal Ika-an ini pun harusnya meliputi pilihan orientasi seksual anak bangsanya?. Tapi kenapa ketika sebagian anak bangsa memilih orientasi seksualnya dengan mengakui bahwa ia adalah seorang Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) kemudian mereka langsung dibully habis habisan bahkan dianggap aneh dan dikucilkan?
Semua pertanyaan-pertanyaan diatas yang intinya mempertanyakan kenapa dinegara yang katanya memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda tapi tetap satu jua) ini disisi lain justru penolakan atas perbedaannya begitu keras luarbiasa ternyata memiliki satu titik jawaban yang seolah menjadi simpulan dari bertolak belakangnya semboyan negara kita dan kenyataan yang ada, yaitu :
NEGARA KITA TERNYATA MASIH BELUM BENAR BENAR 100% SIAP UNTUK BER-BHINNEKA TUNGGAL IKA.
Jangankan kok soal LGBT yang rata rata pelakunya menjadi demikian bukan benar-benar karena pure memilih, lha wong soal keyakinan dan kepercayaan saja yang itu adalah murni soal kesadaran dan penerimaan seseorang akan penciptanya saja penolakan tiap tiap anak bangsa ini pun begitu keras luarbiasa. Masih ingat kan kasus Ahmadiyah dan GKI Yasmin di Bogor?
Terlepas dari apapun polemik yang terjadi, lagi lagi saya sebagai anak bangsa Indonesia tercinta ini (begitu juga anda), ketika anda dan saya masih berada, tinggal, bernafas dan beraktivitas di negerinya Malin Kundang ini?
Maka kita semua masih akan melihat, mendengar, mengamati bahkan merasakan sendiri betapa negeri ini masihlah belum benar benar bisa totally melaksanakan apa yang sejatinya menjadi slogan negerinya Mbak Syahrini selama ini :
“Berbeda beda tapi tetap satu jua.”
Lalu kapan kita bisa ber-Bhineka Tunggal Ika dengan sebenar benarnya?
Kalo ditanya soal itu, jawabannya adalah :
“Ketika kesadaran akan ke-Bhineka Tunggal Ika-an kita sudah benar benar merasuk ke dalam diri anak bangsa sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan nyatanya.”
Karena selama ini memang, walau secara keinginan kita ingin menjadi bangsa yang menghargai perbedaan?. Tapi secara kenyataan, rasanya menghadirkan kesadaran bahwa bangsa ini besar lantaran banyaknya perbedaan masihlah sulit untuk dilakukan.
BALIK LAGI KE LGBT. Solusinya?
Kalau bicara soal solusi meminimalisir jumlah kaum LGBT (Lesbian Gay Biseksual dan Transgender) ini sih bagi saya solusinya 2 :
1. Perbanyak terapis-terapis yang memang paham betul dunianya kaum LGBT.
Bukan..!! Bukan untuk menambah daftar penolakan keras atas perbedaan yang senyatanya memang ada di negara kita. Keberadaan terapis-terapis itu nantinya justru menjadi jembatan yang mengharmoniskan hubungan antara kaum LGBT dengan masyarakat sekitar. Sementara disisi lain proses penuntunan tuk kembali ke fitrah asli manusia tersebut tetaplah harus dilakukan.
2. Melegalkan Praktek Free Sex
Namun yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa Free Sex yang saya maksudkan merupakan aktivitas seksual yang meskipun bebas namun tetap menjaga komitmen. Komitmen terhadap pasangannya, komitmen terhadap tujuan dan dasar hubungannya. Serta komitmen untuk menerima konsekuensi atas semua pilihannya.
Soal poin kedua dari alternatif solusi ala saya sendiri akan saya bahas dalam bagian kedua dari tulisan saya berjudul ; Antara LGBT, Bhinneka Tunggal Ika dan Legalisasi Free Sex ini.
Harapan saya :
Semoga bangsa ini menjadi bangsa yang terus mendewasakan diri dari hari ke hari. Yang setiap saat bisa terus berbenah secara fisik dan mentality. Agar nantinya jika bangsa ini besar suatu hari nanti?
Kebijaksanaan dalam mensikapi segala hal akan menjadi ciri alami yang terus menjadi cermin kepribadian yang begitu lekat dengan kita, Rakyat Indonesia Sejati.
This Post Has 0 Comments